Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa
beberapa penemuan yang mengubah peradaban dunia berasal dari para ilmuwan
muslim.Para ilmuwan ini mempunyai kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan merupakan temuan awal sebelum dikembangkan oleh ilmuwan
Barat lainnya.Penemuan-penemuan ilmuwan muslim ini sempat terlupakan oleh
masyarakat dunia.Untuk itu sebuah Yayasan Sains, Teknologi dan Peradaban (The
Foundation for Science Technology and Civilisation (FSTC) yang berpusat di
London Mengadakan pameran untuk memperlihatkan dan menegaskan kepada publik
tentang kontribusi peradaban non-barat yang sudah ada 1000 tahun yang lampau.
Apa saja penemuan-penemuan itu?
1. Operasi Bedah
Sekitar tahun 1000, seorang dokter
Al Zahrawi mempublikasikan 1500 halaman ensiklopedia berilustrasi tentang
operasi bedah yang digunakan di Eropa sebagai referensi medis selama lebih dari
500 tahun.
Diantara banyak penemu, Zahrawi yang
menggunakan larutan usus kucing menjadi benang jahitan, sebelum menangani
operasi kedua untuk memindahkan jahitan pada luka. Dia juga yang dilaporkan
melakukan operasi caesar dan menciptakan sepasang alat jepit pembedahan.
2. Kopi
Saat ini warga dunia meminum sajian
khas tersebut tetapi, kopi pertama kali dibuat di Yaman pada sekitar abad ke-9.
Pada awalnya kopi membantu kaum sufi tetap terjaga ibadah larut malam. Kemudian
dibawa ke Kairo oleh sekelompok pelajat yang kemudian kopi disukai oleh seluruh
kerajaan. Pada abad ke-13 kopi menyeberang ke Turki, tetapi baru pada abad
ke-16 ketika kacang mulai direbus di Eropa, kopi dibawa ke Italia oleh pedagang
Venesia.
3. Mesin Terbang
Abbas ibn Firnas adalah orang
pertama yang mencoba membuat konstruksi sebuah pesawat terbang dan
menerbangkannya. Di abad ke-9 dia mendesain sebuah perangkat sayap dan secara
khusus membentuk layaknya kostum burung. Dalam percobaannya yang terkenal di
Cordoba Spanyol, Firnas terbang
tinggi untuk beberapa saat sebelum kemudian jatuh ke tanah dan mematahkan
tulang belakangnya. Desain yang dibuatnya secara tidak terduga menjadi
inspirasi bagi seniman Italia Leonardo da Vinci ratusan tahun kemudian.
4. Universitas
Pada tahun 859 seorang putri muda
bernama Fatima al-Firhi mendirikan sebuah universitas tingkat pertama di Fez
Maroko. Saudara perempuannya Miriam mendirikan mas
jid indah secara bersamaan menjadi
masjid dan universitas al-Qarawiyyin dan terus beroperasi selama 1.200 tahun
kemudian. Hassani mengatakan dia berharap orang akan ingat bahwa belajar adalah
inti utama tradisi Islam dan cerita tentang al-Firhi bersaudara akan
menginspirasi wanita muslim di mana pun di dunia.
5. Aljabar
Kata aljabar berasal dari judul
kitab matematikawan terkenal Persia abad ke-9 ‘Kitab al-Jabr Wal-Mugabala’,
yang diterjemahkan ke dalam buku ‘The Book of Reasoning and Balancing’.
Membangun akar sistem Yunani dan
Hindu, aljabar adalah sistem pemersatu untuk nomor rasional, nomor tidak
rasional dan gelombang magnitudo. Matematikawan lainnya Al-Khwarizmi juga yang
pertama kali memperkenalkan konsep angka menjadi bilangan yang bisa menjadi
kekuatan.
6. Optik
“Banyak kemajuan penting dalam studi
optik datang dari dunia muslm,” ujar Hassani. Diantara tahun 1.000 Ibn
al-Haitham membuktikan bahwa manusia melihat obyek dar
i refleksi cahaya dan masuk ke mata,
mengacuhkan teori Euclid dan Ptolemy bahwa cahaya dihasilkan dari dalam mata
sendiri. Fisikawan hebat muslim lainnya juga menemukan fenomena pengukuran
kamera di mana dijelaskan bagaimana mata gambar dapat terlihat dengan koneksi
antara optik dan otak.
7. Musik
Musisi muslim memiliki dampak
signifikan di Eropa. Di antara banyak instrumen yang hadir ke Eropa melalui
timur tengah adalah lute dan rahab, nenek moyang biola. Skala notasi musik
modern juga dikatakan berasal dari alfabet Arab.
8. Sikat Gigi
Menurut Hassani, Nabi Muhammad SAW
mempopulerkan penggunaan sikat gigi pertama kali pada tahun 600. Menggunakan
ranting pohon Miswak, untuk membersihkan gigi dan menyegarkan napas.
Substansi kandungan di dalam Miswak
juga digunakan dalam pasta gigi modern.
9. Engkol
Banyak dasar sistem otomatis modern
pertama kali berasal dari dunia muslim, termasuk pemutar yang menghubungkan
sistem. Dengan mengkonversi gerakan memutar dengan gerakan lurus, pemutar
memungkinankan obyek berat terangkat relatif lebih mudah.
Teknologi tersebut ditemukan oleh
Al-jazari pada abad ke-12, kemudian digunakan dalam penggunaan sepeda hingga
kini
Sumber: inilah.com
Sejarah yang Hilang:
Kejayaan Ilmuwan Islam Abad ke-8 s/d 16
Don’t judge the book by its title! Pelesetan dari “don’t judge the book by
its cover” mungkin sangat tepat
diberikan kepada buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (2009) dengan judul yang
sangat panjang: “Ilmuwan-ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern”
dengan tambahan “dari Musa al-Khawarizmi di bidang matematika sampai Ibnu Sina
di bidang ilmu kedokteran,” dan tambahan lagi: “kisah-kisah yang perlu diingat
kembali.”
Dari judulnya, kita akan mengira buku ini akan
menceritakan kiprah para ilmuwan Muslim dengan hasil karyanya secara
terperinci. Ketika kita sudah membaca setengah dari buku ini, kita akan
menyadari bahwa bukan seperti itu yang dimaksud oleh penulisnya Ehsan Masood.
Buku ini justru membahas cukup komprehensif mengenai sejarah dan perkembangan
sains selama masa-masa kekalifahan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW 632 M dan
setelah masa-masa empat kalifah (Khalifaur-rasyidin), terutama pada masa
Dinasti Abbasiyah (750 – 800 M). Judul aslinya dalam bahasa Inggris sudah
sangat tepat: Science and Islam, a History.
Masood yang pernah datang ke Jakarta pada
November 2007 atas undangan The Wahid Institute adalah seorang penulis dan jurnalis muslim keturunan Pakistan
yang lahir pada Agustus 1967 di London dan saat ini tinggal di kota
kelahirannya itu. Ia adalah penulis di majalah Nature (bahkan pernah menjadi salah seorang editornya) dan Prospect, serta pembuat situs Opendemocracy.net. Ia juga mengajar di Imperial College London dan menjadi penasihat untuk the British Council dalam bidang sains dan hubungan kebudayaan.
Masood membuka bukunya
dengan keruntuhan Romawi dengan luluh lantaknya Kota Roma oleh serangan Alaric
raja Jerman dari suku Visigoth pada 410 M, dan dipindahkannya ibukota Romawi ke
Konstantinopel 66 tahun setelah serangan itu oleh kaisar Romawi terakhir
Romulus Augustus. Mulai saat itulah para ahli sejarah menuliskannya sebagai
Zaman Kegelapan, zaman ketika peradaban barat tanpa ilmu, sastra, atau bahkan
kehidupan yang beradab. Padahal pada masa-masa Zaman Kegelapan Eropa itulah,
tidak jauh di Timur Tengah, tumbuh suatu peradaban yang memunculkan
temuan-temuan di bidang sains, teknologi, kedokteran dan filsafat yang –
sayangnya – tidak diakui (atau setidaknya) diabaikan oleh para sejarawan Barat.
Namun demikian, akhir-akhir ini banyak penulis
Barat yang mulai menyadarinya. Masa-masa itu disebut sebagai “sejarah yang
hilang” oleh Michael Hamilton Morgan dari New Foundation of Peace (National
Geographic, 2006), atau bahkan sebagai “pencurian sejarah” oleh sejarawan Jack
Goody (halaman 2). Menarik juga komentar Prince of Wales (Pangeran Charles)
dalam pidatonya di Oxford University 27 Oktober 1993: “Bila ada banyak
kesalahpahaman di dunia barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga
ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam.
Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita
warisi selama ini.” (kutipan pembuka Bab
1: Mitos Zaman Kegelapan, halaman 1).
Bab utama buku ini adalah Bab 5: “Sang Khalifah
Sains” yang membahas bagaimana kiprah Khalifah Al-Ma’mun yang berkontribusi
besar dalam kejayaan sains. Putra Khalifah Harun al-Rasyid yang bagi kita lebih
dikenal melalui Cerita 1001 Malam, menduduki kekuasaannya setelah membunuh
saudaranya sendiri. Tetapi ialah yang meletakkan kaidah-kaidah sains yang akan
menjadi pelopor sains modern. Sang khalifah sendiri tergila-gila kepada
Aristoteles, filsuf besar Yunani. Pada masa kekhalifahannya yang berpusat di
Baghdad, ia mengutus para ilmuwan untuk mencari buku-buku dari Barat (Yunani),
termasuk dari India atau Persia, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Penerjemahan buku-buku itu ke dalam bahasa Arab
menghasilkan buku-buku yang menjadi landasan sains di dunia Islam. Hal itu
karena para ilmuwan muslim tidak hanya sekadar menerjemahkan karya-karya
ilmuwan Eropa, tetapi juga melakukan kritik dan membuat eksperimen-eksperiman
baru yang kelak justru membantah temuan-temuan ilmuwan Yunani dan menghasilkan
temuan-temuan baru yang brilian. Lucunya, kelak setelah masa-masa kejayaan
kekhalifahan surut, karya-karya berbahasa Arab ini kembali dipelajari
ilmuwan-ilmuwan Barat dan kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang dalam
sejarah diakui hebat seperti Galileo, Copernicus, termasuk Newton yang lebih
modern. Dalam pelajaran sejarah kita, kita akan mendapati bahwa perkembangan
sains dan teknologi seolah-olah selalu berasal dari ilmuwan-ilmuwan Yunani dan
lalu meloncat ke ilmuwan-ilmuwan Renaisance mulai seangkatan Newton dan
kawan-kawan; melupakan masa-masa perkembangannya di dunia Arab (Islam).
Pada masa Abbasiyah inilah diperkenalkan
penggunaan kertas yang berasal dari China secara luas sehingga buku-buku lebih
banyak dibuat. Sistem angka Arab yang kita kenal sekarang (0123456789) diperkenalkan
oleh al-Kindi yang justru menyebutnya sebagai angka India. Dari sistem angka
India yang memperkenalkan angka 0 inilah kemudian muncul aljabar oleh
Al-Khawarizmi. Penggunaan sistem angka India itulah yang memberikan sumbangan
revolusi sains yang luar biasa. Temuan-temuan dan pengukuran-pengukuran semakin
akurat, terutama di bidang astronomi yang memang sangat diperlukan di dunia
Islam untuk penentuan waktu-waktu shalat, awal Ramadhan, termasuk arah kiblat
yang akurat.
Memang dengan mengusung aliran rasionalisme yang
dianut Khalifah Al-Ma’mun dan beberapa ilmuwannya, akhirnya beberapa tokoh
muslim tradisional menilai perkembangan sains telah menjauhkan penggunanya dari
nilai-nilai keagamaan. Bahkan termasuk Ibnu Sina (Avicennia) sendiri yang
terkenal dengan Kanun Kedokteran yang menjadi rujukan kedokteran barat selama
berabad-abad, menjadi takabur dengan meyakini bahwa Tuhan dengan sengaja telah
membuat dirinya lebih cerdas daripada orang lain, dan harus selalu pasti bahwa
ada penjelasan fisika dibalik mukzizat (halaman 88).
Tetapi Ibnu Sina juga yang diduga pertama kali
menemukan hukum superposisi pada abad ke-11, bahwa lapisan batuan yang berada
di bawah akan berumur lebih tua; jauh sebelum menjadi salah satu Hukum Steno
yang dipostulatkan pada abad ke-17. Survival for the fittest yang dijadikan salah satu argumen Darwin untuk
Teori Evolusinya, bahkan pernah dilontarkan oleh al-Jahiz yang menerbitkan Kitab al-Hayawan (Buku Dunia Hewan) pada abad ke-9.
Buku ini membawa kesan bahwa jika ingin
memajukan sains harus dimulai dari keinginan penguasa untuk memajukannya.
Ilmuwan-ilmuwan muslim selama zaman kekhalifahan itu berhasil berjaya berkat
dukungan pemerintah atas usaha-usahanya. Maka ketika Baghdad diserbu cucu
Jengis Khan, Hulaku Khan (walaupun kemudian menjadi muslim dan bahkan ikut
memajukan sains dan ilmu pengetahuan), inkuisisi Islam di Spanyol, dan berbagai
konflik di kalangan berbagai aliran Islam sendiri, perkembangan sains kembali
bergeser ke Eropa. Justru temuan-temuan para ilmuwan muslim itu berbalik
seolah-olah menjadi bumerang ketika setelah Revolusi Industri di abad ke-18
kolonialisme menjajah negara-negara Islam.
Masood menutup bukunya
dengan kalimat, “Jika sains ingin dikembalikan ke berbagai negara Islam, sains
harus dilakukan tanpa mencampuri hak seseorang untuk memilih agamanya
masing-masing.”
Sebagai penutup, sangat menarik bahwa buku ini
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (Kelompok Kompas Gramedia), penerbit
yang rasanya jarang sekali menerbitkan buku-buku bertemakan Islam.
Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan (721-815 H),
Ilmu kimia di kemudian hari berkembang sangat pesat dan dikenal banyak
orang. Tapi, hanya sedikit yang tahu siapa sejatinya orang pertama yang
menemukan ilmu eksakta tersebut. Adalah Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan
(721-815 H), ilmuwan Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin
ilmu kimia tadi.
Lahir di kota peradaban
Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan nama Ibnu Hayyan. Sementara di Barat ia dikenal dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal
sebagai 'syuhada' demi penyebaran ajaran Syi'ah. Jabir kecil menerima
pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid Ibnu Yazid Ibnu Muawiyah, dan imam
terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier pada masa
kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Jabir ini membuktikan,
bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi
sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. "Sesudah ilmu kedokteran,
astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di
bidang kimia," tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The
Arabs. Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern.
Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium
dekat Bawwabah di Damaskus. Pada masamasa inilah, ia banyak mendapatkan
pengalaman dan pengetahuan baru di sekitar kimia. Berbekal pengalaman dan
pengetahuannya itu, sempat beberapa kali ia mengadakan penelitian soal kimia.
Namun, penyelidikan secara serius baru ia lakukan setelah umurnya menginjak
dewasa.
Dalam penelitiannya itu, Jabir mendasari
eksperimennya secara kuantitatif dan instrumen yang dibuatnya sendiri,
menggunakan bahan berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani. Jabir mempunyai kebiasaan
yang cukup konstruktif mengakhiri uraiannya pada setiap eksperimen. Antara lain
dengan penjelasan : “Saya pertamakali mengetahuinya dengan melalui tangan dan
otak saya dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin dan saya mencari
kesalahan yang mungkin masih terpendam “.
Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya,
Kuffah. Setelah 200 tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk
pembuatan jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya
didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan sebatang emas
yang cukup berat.
Teori Jabir
Pada perkembangan berikutnya, Jabir Ibnu Hayyan
membuat instrumen pemotong, peleburan dan pengkristalan. Ia menyempurnakan
proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur,
penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan
oksidasi-reduksi.
Semua ini telah ia siapkan tekniknya, praktis
hampir semua 'technique' kimia modern. Ia membedakan antara penyulingan
langsung yang memakai bejana basah dan tak langsung yang memakai bejana kering.
Dialah yang pertama mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses
penyulingan.
Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia,
yakni kalsinasi dan reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua
dasar ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan
metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan, sublimasi,
destilasi, penglarutan, dan penghabluran.
Setelah itu, papar Jabir, memodifikasi dan
mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar logam, yang tetap tidak berubah
sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap karyanya, Jabir melaluinya dengan
terlebih dahulu melakukan riset dan eksperimen. Metode inilah yang
mengantarkannya menjadi ilmuwan besar Islam yang mewarnai renaissance dunia
Barat.
Namun demikian, Jabir tetap saja seorang yang
tawadlu' dan berkepribadian mengagumkan. "Dalam mempelajari kimia dan ilmu
fisika lainnya, Jabir memperkenalkan eksperimen objektif, suatu keinginan
memperbaiki ketidakjelasan spekulasi Yunani. Akurat dalam pengamatan gejala,
dan tekun mengumpulkan fakta. Berkat dirinya, bangsa Arab tidak mengalami
kesulitan dalam menyusun hipotesa yang wajar," tulis Robert Briffault.
Menurut Briffault, kimia, proses pertama
penguraian logam yang dilakukan oleh para metalurg dan ahli permata Mesir,
mengkombinasikan logam dengan berbagai campuran dan mewarnainya, sehingga mirip
dengan proses pembuatan emas. Proses demikian, yang tadinya sangat
dirahasiakan, dan menjadi monopoli perguruan tinggi, dan oleh para pendeta
disamarkan ke dalam formula mistik biasa, di tangan Jabir bin Hayyan menjadi
terbuka dan disebarluaskan melalui penyelidikan, dan diorganisasikan dengan
bersemangat.
Terobosan Jabir lainnya dalam bidang kimia
adalah preparasi asam sendawa, hidroklorik, asam sitrat dan asam tartar.
Penekanan Jabir di bidang eksperimen sistematis ini dikenal tak ada duanya di
dunia. Inilah sebabnya, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai 'Bapak Ilmu
Kimia Modern' oleh sejawatnya di seluruh dunia. Dalam tulisan Max Mayerhaff,
bahkan disebutkan, jika ingin mencari akar pengembangan ilmu kimia di daratan
Eropa, maka carilah langsung ke karyakarya Jabir Ibnu Hayyan.
Puaskah Jabir? Tidak! Ia terus mengembangkan
keilmuannya sampai batas tak tertentu. Dalam hal teori keseimbangan misalnya,
diakui para ilmuwan modern sebagai terobosan baru dalam prinsip dan praktik
alkemi dari masa sebelumnya. Sangat spekulatif, di mana Jabir berusaha mengkaji
keseimbangan kimiawi yang ada di dalam suatu interaksi zat-zat berdasarkan
sistem numerologi (studi mengenai arti klenik dari sesuatu dan pengaruhnya atas
hidup manusia) yang diterapkannya dalam kaitan dengan alfabet 28 huruf Arab
untuk memperkirakan proporsi alamiah dari produk sebagai hasil dari reaktan
yang bereaksi. Sistem ini niscaya memiliki arti esoterik, karena kemudian telah
menjadi pendahulu penulisan jalannya reaksi kimia.
Jelas dengan ditemukannya proses pembuatan asam
anorganik oleh Jabir telah memberikan arti penting dalam sejarah kimia. Di
antaranya adalah hasil penyulingan tawas, amonia khlorida, potasium nitrat dan
asam sulferik. Pelbagai jenis asam diproduksi pada kurun waktu eksperimen kimia
yang merupakan bahan material berharga untuk beberapa proses industrial.
Penguraian beberapa asam terdapat di dalam salah satu manuskripnya berjudul
Sandaqal-Hikmah (Rongga Dada Kearifan) .
Seluruh karya Jabir Ibnu Hayyan lebih dari 500
studi kimia, tetapi hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus
studi kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai
pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di antara
bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin berjudul SummaPerfecdonis.
Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi
kimia adalah: "Air raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk
satu produk tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama
sekali baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap.
Yang benar adalah bahwa, keduanya mempertahankan karakteristik alaminya, dan
segala yang terjadi adalah sebagian dari kedua bahan itu berinteraksi dan
bercampur, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin membedakannya secara seksama.
Jika dihendaki memisahkan bagianbagian terkecil dari dua kategori itu oleh
instrumen khusus, maka akan tampak bahwa tiap elemen (unsur) mempertahankan
karakteristik teoretisnya. Hasilnya adalah suatu kombinasi kimiawi antara unsur
yang terdapat dalam keadaan keterkaitan permanen tanpa perubahan karakteristik
dari masing-masing unsur."
Ide-ide eksperimen Jabir itu sekarang lebih
dikenal/dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia,
utamanya pada bahan metal, nonmetal dan penguraian zat kimia. Dalam bidang ini,
ia merumuskan tiga tipe berbeda dari zat kimia berdasarkan unsur-unsurnya:
1. Air (spirits), yakni
yang mempengaruhi penguapan pada proses pemanasan, seperti pada bahan camphor,
arsenik dan amonium klorida,
2. Metal, seperti pada
emas, perak, timah, tembaga, besi, dan
3. Bahan campuran, yang
dapat dikonversi menjadi semacam bubuk.
Sampai abad pertengahan risalah-risalah Jabir di
bidang ilmu kimia --termasuk kitabnya yang masyhur, yakni Kitab Al-Kimya dan Kitab Al Sab'een, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitab Al Kimya bahkan telah diterbitkan oleh ilmuwan Inggris,
Robert Chester pada 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy. Sementara buku kedua Kitab Al Sab'een, diterjemahkan oleh Gerard Cremona.
Berikutnya di tahun 1678, ilmuwan Inggris
lainnya, Richard Russel, mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Summa of Perfection. Berbeda dengan pengarang sebelumnya,
Richard-lah yang pertama kali menyebut Jabir dengan sebutan Geber, dan memuji
Jabir sebagai seorang pangeran Arab dan filsuf. Buku ini kemudian menjadi
sangat populer di Eropa selama beberapa abad lamanya. Dan telah pula memberi
pengaruh pada evolusi ilmu kimia modern.
Karya lainnya yang telah diterbitkan adalah;
Kitab al Rahmah, Kitab al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury, dan Book of Balance (ketiga buku terakhir diterjemahkan oleh
Berthelot). "Di dalamnya kita menemukan pandangan yang sangat mendalam
mengenai metode riset kimia," tulis George Sarton. Dengan prestasinya itu,
dunia ilmu pengetahuan modern pantas 'berterima kasih' padanya. []
Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi
Istilah algoritma,
mungkin bukan sesuatu yang asing bagi kita. Ditinjau dari asal-usul
katanya, kata ‘Algoritma’ mempunyai sejarah yang agak aneh. Orang hanya
menemukan kata Algorism yang berarti proses menghitung dengan angka Arab.
Seseorang dikatakan ‘Algorist’ jika menghitung menggunakan angka Arab. Para
ahli bahasa berusaha menemukan asal kata ini namun hasilnya kurang memuaskan.
Akhirnya para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut yang berasal
dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa
Al-Khuwarizmi dibaca orang barat menjadi Algorism.
Definisi Algoritma
Definisi Algoritma adalah langkah-langkah logis
penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Contoh sederhana
adalah penyusunan sebuah resep makanan, yang biasanya terdapat langkah-langkah
cara memasak masakan tersebut. Tapi, algoritma umumnya digunakan untuk membuat
diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer / informatika.
Penemu konsep Algoritma
dan Aljabar
Penemunya adalah seorang ahli matematika dari
uzbekistan yang bernama Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi. Di
literatur barat, beliau lebih terkenal dengan sebutan Algorism. Panggilan
inilah yang kemudian dipakai untuk menyebut konsep algoritma yang ditemukannya.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm
(Kheva), kota di selatan sungai Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi.
Kedua orangtuanya kemudian pindah ke sebuah tempat di selatan kota Baghdad
(Irak), ketika ia masih kecil. Khwarizm dikenal sebagai orang yang
memperkenalkan konsep algoritma dalam matematika, konsep yang diambil dari nama
belakangnya.
Al khwarizmi juga adalah penemu dari beberapa
cabang ilmu matematika yang dikenal sebagai astronom dan geografer. Ia adalah
salah satu ilmuwan matematika terbesar yang pernah hidup, dan
tulisan-tulisannya sangat berpengaruh pada jamannya. Teori aljabar juga adalah
penemuan dan buah pikiran Al khwarizmi. Nama aljabar diambil dari bukunya yang
terkenal dengan judul Al Jabr Wa Al Muqabilah. Ia mengembangkan tabel rincian
trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Pengaruhnya dalam perkembangan matematika,
astronomi dan geografi tidak diragukan lagi dalam catatan sejarah. Pendekatan
yang dipakainya menggunakan pendekatan sistematis dan logis. Dia memadukan
pengetahuan dari Yunani dengan Hindu ditambah idenya sendiri dalam
mengembangkan matematika. Khwarizm mengadopsi penggunaan angka nol, dalam ilmu
aritmetik dan sistem desimal. Beberapa bukunya banyak diterjemahkan kedalam
bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu
Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, seperti Kitab
al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi, Algebra, Al-Maqala fi Hisab-al Jabr
wa-al-Muqabilah, hanya dikenal dari translasi berbahasa latin. Buku-buku itu
terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh
universitas-universitas di Eropa.
Buku geografinya berjudul Kitab Surat-al-Ard
yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris.
Buah pikir Khwarizmi di bidang geografi juga sangat mengagumkan. Dia tidak
hanya merevisi pandangan Ptolemeus dalam geografi tapi malah memperbaiki
beberapa bagiannya. Tujuh puluh orang geografer pernah bekerja dibawah
kepemimpinan Al khwarizmi ketika membuat peta dunia pertama di tahun 830. Ia
dikisahkan pernah pula menjalin kerjasama dengan Khalifah Mamun Al-Rashid
ketika menjalankan proyek untuk mengetahui volume dan lingkar bumi.
AL RAZI RUJUKAN ILMU BEDAH
Ketokohan
ilmuwan Islam yang bernama lengkap Muhammad bin Zakaria ini memang sukar
ditandingi dalam dunia pengobatan. Ia yang lebih populer dipanggil Al
Razi ini adalah orang pertama membuat jahitan pada perut dengan
benang dibuat dari serat. Dia juga orang pertama yang berhasil membedakan
antara penyakit cacar dengan campak.
Sejarah
mencatat, Al
Razi dilahirkan di Ray, Parsi (Iran) pada tahun 240 Hijriah/854
Masehi. Tak lain, dia adalah guru dari ilmuwan di bidang kedokteran yang sangat
terkenal, Ibnu Sina.
Ketika masih
kecil, perhatiannya sudah begitu besar dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya
bidang kedokteran. Al
Razi pun belajar dengan tekun setiap waktu dan kegigihannya tersebut
kemudian diganjar prestasi mengagumkan pada setiap tingkatan sekolah yang
dilaluinya.
Beranjak dewasa
kemampuan Al
Razi kian bertambah hingga dipercaya menjadi tenaga pengajar dan
peneliti pada sejumlah lembaga. Penghargaan satu per satu diperoleh. Dia pernah
mendapat gelar Jalinus Arab (Galen of the Arab) kerana ketokohannya sebagai
pengajar di Rumah Sakit Baghdad, Irak.
Tak hanya
berkiprah sebagai pengajar saja, Al
Razi juga mengisi waktunya dengan mengadakan serangkaian
penelitian di bidang pengobatan serta tak lupa, menulis buku. Sebanyak 10 buku
ilmu perobatannya dia hasilkan dan kini sudah terjemahkan ke dalam bahasa
Latin. Buku karya Al
Razi paling termasyhur berjudul Al-Hawi Fi Ilm Al-Tadawi yang
terdiri dari 30 jilid dan dirangkum ke dalam 12 bagian.
Banyak hal baru
yang dibahas dalam buku ini. Di antara yang berkaitan dengan penyembuhan
penyakit serta jenis penyakit; upaya menjaga kesehatan; punggung dan tengkuk
(yang patah); obat-obatan dan makanan; pembuatan ramuan obat-obatan; industri
kedokteran; farmasi; tubuh; pembedahan; dan pengawetan anggota tubuh. Selain
itu, juga ada mengenai pengkelasan bahan galian serta peralatan dan obat yang
digunakan lengkap dengan arahan terperinci.
Sebuah buku lain
karyanya, Al-Mansuri, berisi tentang pembedahan seluruh tubuh manusia. Buku-buku
karya Al-Razi itu lantas diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dan menjadi
bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad ke-17.
Ilmunya yang
amat mendalam berkaitan tatacara perobatan, terbukti bermanfaat dalam usaha
pencarian ramuan obat dari bahan tumbuhan dan hewan serta cara yang tepat untuk
digunakan dalam perawatan pasien. Salah satunya yang monumental, adalah bahan
serat untuk menjahit luka terbuka.
Raksi kimia tak
luput dari pengamatannya. Termasuk pula di antaranya ilmu dan tatacara kimia
yang menjelaskan pemrosesan air raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam
lain seperti emas, perak, tembaga, plumbum dan besi.
Sebagai seorang
ilmuwan Islam dalam bidang perobatan, ketokohan al-Razi tidak terbatas dalam
menimba ilmu dan mengarang buku semata-mata. Pada saat bersamaan, dia kerap
mengemukakan pemikiran yang kritis dalam menyumbangkan rumusan keputusan oleh
kerajaan.
Ketika,
misalnya, penguasa kerajaan meminta Al
Razi membangun sebuah rumah sakit di kota Baghdad, dia lantas
menggunakan satu kaedah yang sangat baik untuk memilih lokasi rumah sakit
tersebut. Al
Razi meletakkan sepotong daging di tempat yang berlainan di
Baghdad dan daging itu dibiarkan saja sehingga menjadi busuk.
Kemudian dia
membangun rumah sakit di tempat yang dagingnya paling lambat busuk. Teorinya,
tempat itu mempunyai udara bersih, sedikit pencemaran, dan lokasi sesuai untuk
lokasi rumah sakit.
Sumbangan Al
Razi dalam bidang filsafat juga tidak dapat dikesampingkan. Pada
disiplin ilmu ini, hal yang menjadi pilihan ialah mengenai pencipta, jiwa
manusia, hakikat, angkasa, dan masa.
Kini, sekitar 40 manuskrip karya Al
Razi tersimpan di museum dan perpustakaan di beberapa negara,
seperti di Iran, Perancis, dan Inggris. Sepanjang hidupnya, tokoh ilmuwan ini
tercatat telah menghasilkan sebanyak 224 judul buku, 140 diantaranya adalah
dalam bidang pengobatan. Al
Razi meninggal dunia tahun 320 Hijrah/932 Masehi. (
yus/berbagai sumber )
AL-FARABI
Abu Nashr Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi (محمد فارابی ) dalam beberapa
sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh
al-Farabi atau yang biasa ddi dunia barat sebagai Alpharabius, Al Farabi, Farabi, dan Abunasir lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota
Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890.
Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer
Turki. Al-Farabi melewatkan masa
remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas
mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia
digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk
menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya
ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama
(fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi
dasarnya,
al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi
lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu
kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap
dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti
Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti
ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi
mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di
Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran
al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab
al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir
Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya,
terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya,
al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan
filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah
bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk
Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya
di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah
menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles
tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada
tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat
ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932),
bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam
filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran.
Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta
ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam
bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah
umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta.
Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi
gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus
karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama
dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga
kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke
Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini
al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif
al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan
dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya
serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang
dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu
yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950,
ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.
Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk
menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau
universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh
Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak
intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi
menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata
dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat
selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari.
Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan
matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.
Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki
apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan
sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan
penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil
atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Intelek potensial yang sudah disinari akan
berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya
sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi
menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda
terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair
tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu.
Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat
pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika
proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan
pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan
dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek
aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus
pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia
menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql
al-mustafad atau acquired intelect.
Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada
intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai
pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa
bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek
manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan
Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu,
akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak
membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.
Ref
:
1. Wikipedia.org.
2. hbis.wordpress.com