Thursday, June 7, 2012

Ilmuwan Muslim Dunia

         Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa beberapa penemuan yang mengubah peradaban dunia berasal dari para ilmuwan muslim.Para ilmuwan ini mempunyai kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan  merupakan temuan awal sebelum dikembangkan oleh ilmuwan Barat lainnya.Penemuan-penemuan ilmuwan muslim ini sempat terlupakan oleh masyarakat dunia.Untuk itu sebuah Yayasan Sains, Teknologi dan Peradaban (The Foundation for Science Technology and Civilisation (FSTC) yang berpusat di London Mengadakan pameran untuk memperlihatkan dan menegaskan kepada publik tentang kontribusi peradaban non-barat yang sudah ada 1000 tahun yang lampau.
Apa saja penemuan-penemuan itu?
1. Operasi Bedah
Sekitar tahun 1000, seorang dokter Al Zahrawi mempublikasikan 1500 halaman ensiklopedia berilustrasi tentang operasi bedah yang digunakan di Eropa sebagai referensi medis selama lebih dari 500 tahun. Diantara banyak penemu, Zahrawi yang menggunakan larutan usus kucing menjadi benang jahitan, sebelum menangani operasi kedua untuk memindahkan jahitan pada luka. Dia juga yang dilaporkan melakukan operasi caesar dan menciptakan sepasang alat jepit pembedahan.
2. Kopi
Saat ini warga dunia meminum sajian khas tersebut tetapi, kopi pertama kali dibuat di Yaman pada sekitar abad ke-9. Pada awalnya kopi membantu kaum sufi tetap terjaga ibadah larut malam. Kemudian dibawa ke Kairo oleh sekelompok pelajat yang kemudian kopi disukai oleh seluruh kerajaan. Pada abad ke-13 kopi menyeberang ke Turki, tetapi baru pada abad ke-16 ketika kacang mulai direbus di Eropa, kopi dibawa ke Italia oleh pedagang Venesia.
3. Mesin Terbang
Abbas ibn Firnas adalah orang pertama yang mencoba membuat konstruksi sebuah pesawat terbang dan menerbangkannya. Di abad ke-9 dia mendesain sebuah perangkat sayap dan secara khusus membentuk layaknya kostum burung. Dalam percobaannya yang terkenal di Cordoba Spanyol, Firnas terbang tinggi untuk beberapa saat sebelum kemudian jatuh ke tanah dan mematahkan tulang belakangnya. Desain yang dibuatnya secara tidak terduga menjadi inspirasi bagi seniman Italia Leonardo da Vinci ratusan tahun kemudian.
4. Universitas
Pada tahun 859 seorang putri muda bernama Fatima al-Firhi mendirikan sebuah universitas tingkat pertama di Fez Maroko. Saudara perempuannya Miriam mendirikan mas jid indah secara bersamaan menjadi masjid dan universitas al-Qarawiyyin dan terus beroperasi selama 1.200 tahun kemudian. Hassani mengatakan dia berharap orang akan ingat bahwa belajar adalah inti utama tradisi Islam dan cerita tentang al-Firhi bersaudara akan menginspirasi wanita muslim di mana pun di dunia.
5. Aljabar
Kata aljabar berasal dari judul kitab matematikawan terkenal Persia abad ke-9 ‘Kitab al-Jabr Wal-Mugabala’, yang diterjemahkan ke dalam buku ‘The Book of Reasoning and Balancing’. Membangun akar sistem Yunani dan Hindu, aljabar adalah sistem pemersatu untuk nomor rasional, nomor tidak rasional dan gelombang magnitudo. Matematikawan lainnya Al-Khwarizmi juga yang pertama kali memperkenalkan konsep angka menjadi bilangan yang bisa menjadi kekuatan.
6. Optik
“Banyak kemajuan penting dalam studi optik datang dari dunia muslm,” ujar Hassani. Diantara tahun 1.000 Ibn al-Haitham membuktikan bahwa manusia melihat obyek dar i refleksi cahaya dan masuk ke mata, mengacuhkan teori Euclid dan Ptolemy bahwa cahaya dihasilkan dari dalam mata sendiri. Fisikawan hebat muslim lainnya juga menemukan fenomena pengukuran kamera di mana dijelaskan bagaimana mata gambar dapat terlihat dengan koneksi antara optik dan otak.
7. Musik
Musisi muslim memiliki dampak signifikan di Eropa. Di antara banyak instrumen yang hadir ke Eropa melalui timur tengah adalah lute dan rahab, nenek moyang biola. Skala notasi musik modern juga dikatakan berasal dari alfabet Arab.
8. Sikat Gigi
Menurut Hassani, Nabi Muhammad SAW mempopulerkan penggunaan sikat gigi pertama kali pada tahun 600. Menggunakan ranting pohon Miswak, untuk membersihkan gigi dan menyegarkan napas. Substansi kandungan di dalam Miswak juga digunakan dalam pasta gigi modern.
9. Engkol
Banyak dasar sistem otomatis modern pertama kali berasal dari dunia muslim, termasuk pemutar yang menghubungkan sistem. Dengan mengkonversi gerakan memutar dengan gerakan lurus, pemutar memungkinankan obyek berat terangkat relatif lebih mudah. Teknologi tersebut ditemukan oleh Al-jazari pada abad ke-12, kemudian digunakan dalam penggunaan sepeda hingga kini
Sumber: inilah.com


Sejarah yang Hilang: Kejayaan Ilmuwan Islam Abad ke-8 s/d 16
Don’t judge the book by its title! Pelesetan dari “don’t judge the book by its cover” mungkin sangat tepat diberikan kepada buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (2009) dengan judul yang sangat panjang: “Ilmuwan-ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern” dengan tambahan “dari Musa al-Khawarizmi di bidang matematika sampai Ibnu Sina di bidang ilmu kedokteran,” dan tambahan lagi: “kisah-kisah yang perlu diingat kembali.”
Dari judulnya, kita akan mengira buku ini akan menceritakan kiprah para ilmuwan Muslim dengan hasil karyanya secara terperinci. Ketika kita sudah membaca setengah dari buku ini, kita akan menyadari bahwa bukan seperti itu yang dimaksud oleh penulisnya Ehsan Masood. Buku ini justru membahas cukup komprehensif mengenai sejarah dan perkembangan sains selama masa-masa kekalifahan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW 632 M dan setelah masa-masa empat kalifah (Khalifaur-rasyidin), terutama pada masa Dinasti Abbasiyah (750 – 800 M). Judul aslinya dalam bahasa Inggris sudah sangat tepat: Science and Islam, a History.
Masood yang pernah datang ke Jakarta pada November 2007 atas undangan The Wahid Institute adalah seorang penulis dan jurnalis muslim keturunan Pakistan yang lahir pada Agustus 1967 di London dan saat ini tinggal di kota kelahirannya itu. Ia adalah penulis di majalah Nature (bahkan pernah menjadi salah seorang editornya) dan Prospect, serta pembuat situs Opendemocracy.net. Ia juga mengajar di Imperial College London dan menjadi penasihat untuk the British Council dalam bidang sains dan hubungan kebudayaan.
Masood membuka bukunya dengan keruntuhan Romawi dengan luluh lantaknya Kota Roma oleh serangan Alaric raja Jerman dari suku Visigoth pada 410 M, dan dipindahkannya ibukota Romawi ke Konstantinopel 66 tahun setelah serangan itu oleh kaisar Romawi terakhir Romulus Augustus. Mulai saat itulah para ahli sejarah menuliskannya sebagai Zaman Kegelapan, zaman ketika peradaban barat tanpa ilmu, sastra, atau bahkan kehidupan yang beradab. Padahal pada masa-masa Zaman Kegelapan Eropa itulah, tidak jauh di Timur Tengah, tumbuh suatu peradaban yang memunculkan temuan-temuan di bidang sains, teknologi, kedokteran dan filsafat yang – sayangnya – tidak diakui (atau setidaknya) diabaikan oleh para sejarawan Barat.
Namun demikian, akhir-akhir ini banyak penulis Barat yang mulai menyadarinya. Masa-masa itu disebut sebagai “sejarah yang hilang” oleh Michael Hamilton Morgan dari New Foundation of Peace (National Geographic, 2006), atau bahkan sebagai “pencurian sejarah” oleh sejarawan Jack Goody (halaman 2). Menarik juga komentar Prince of Wales (Pangeran Charles) dalam pidatonya di Oxford University 27 Oktober 1993: “Bila ada banyak kesalahpahaman di dunia barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini.” (kutipan pembuka Bab 1: Mitos Zaman Kegelapan, halaman 1).
Bab utama buku ini adalah Bab 5: “Sang Khalifah Sains” yang membahas bagaimana kiprah Khalifah Al-Ma’mun yang berkontribusi besar dalam kejayaan sains. Putra Khalifah Harun al-Rasyid yang bagi kita lebih dikenal melalui Cerita 1001 Malam, menduduki kekuasaannya setelah membunuh saudaranya sendiri. Tetapi ialah yang meletakkan kaidah-kaidah sains yang akan menjadi pelopor sains modern. Sang khalifah sendiri tergila-gila kepada Aristoteles, filsuf besar Yunani. Pada masa kekhalifahannya yang berpusat di Baghdad, ia mengutus para ilmuwan untuk mencari buku-buku dari Barat (Yunani), termasuk dari India atau Persia, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Penerjemahan buku-buku itu ke dalam bahasa Arab menghasilkan buku-buku yang menjadi landasan sains di dunia Islam. Hal itu karena para ilmuwan muslim tidak hanya sekadar menerjemahkan karya-karya ilmuwan Eropa, tetapi juga melakukan kritik dan membuat eksperimen-eksperiman baru yang kelak justru membantah temuan-temuan ilmuwan Yunani dan menghasilkan temuan-temuan baru yang brilian. Lucunya, kelak setelah masa-masa kejayaan kekhalifahan surut, karya-karya berbahasa Arab ini kembali dipelajari ilmuwan-ilmuwan Barat dan kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang dalam sejarah diakui hebat seperti Galileo, Copernicus, termasuk Newton yang lebih modern. Dalam pelajaran sejarah kita, kita akan mendapati bahwa perkembangan sains dan teknologi seolah-olah selalu berasal dari ilmuwan-ilmuwan Yunani dan lalu meloncat ke ilmuwan-ilmuwan Renaisance mulai seangkatan Newton dan kawan-kawan; melupakan masa-masa perkembangannya di dunia Arab (Islam).
Pada masa Abbasiyah inilah diperkenalkan penggunaan kertas yang berasal dari China secara luas sehingga buku-buku lebih banyak dibuat. Sistem angka Arab yang kita kenal sekarang (0123456789) diperkenalkan oleh al-Kindi yang justru menyebutnya sebagai angka India. Dari sistem angka India yang memperkenalkan angka 0 inilah kemudian muncul aljabar oleh Al-Khawarizmi. Penggunaan sistem angka India itulah yang memberikan sumbangan revolusi sains yang luar biasa. Temuan-temuan dan pengukuran-pengukuran semakin akurat, terutama di bidang astronomi yang memang sangat diperlukan di dunia Islam untuk penentuan waktu-waktu shalat, awal Ramadhan, termasuk arah kiblat yang akurat.
Memang dengan mengusung aliran rasionalisme yang dianut Khalifah Al-Ma’mun dan beberapa ilmuwannya, akhirnya beberapa tokoh muslim tradisional menilai perkembangan sains telah menjauhkan penggunanya dari nilai-nilai keagamaan. Bahkan termasuk Ibnu Sina (Avicennia) sendiri yang terkenal dengan Kanun Kedokteran yang menjadi rujukan kedokteran barat selama berabad-abad, menjadi takabur dengan meyakini bahwa Tuhan dengan sengaja telah membuat dirinya lebih cerdas daripada orang lain, dan harus selalu pasti bahwa ada penjelasan fisika dibalik mukzizat (halaman 88).
Tetapi Ibnu Sina juga yang diduga pertama kali menemukan hukum superposisi pada abad ke-11, bahwa lapisan batuan yang berada di bawah akan berumur lebih tua; jauh sebelum menjadi salah satu Hukum Steno yang dipostulatkan pada abad ke-17. Survival for the fittest yang dijadikan salah satu argumen Darwin untuk Teori Evolusinya, bahkan pernah dilontarkan oleh al-Jahiz yang menerbitkan Kitab al-Hayawan (Buku Dunia Hewan) pada abad ke-9.
Buku ini membawa kesan bahwa jika ingin memajukan sains harus dimulai dari keinginan penguasa untuk memajukannya. Ilmuwan-ilmuwan muslim selama zaman kekhalifahan itu berhasil berjaya berkat dukungan pemerintah atas usaha-usahanya. Maka ketika Baghdad diserbu cucu Jengis Khan, Hulaku Khan (walaupun kemudian menjadi muslim dan bahkan ikut memajukan sains dan ilmu pengetahuan), inkuisisi Islam di Spanyol, dan berbagai konflik di kalangan berbagai aliran Islam sendiri, perkembangan sains kembali bergeser ke Eropa. Justru temuan-temuan para ilmuwan muslim itu berbalik seolah-olah menjadi bumerang ketika setelah Revolusi Industri di abad ke-18 kolonialisme menjajah negara-negara Islam.
Masood menutup bukunya dengan kalimat, “Jika sains ingin dikembalikan ke berbagai negara Islam, sains harus dilakukan tanpa mencampuri hak seseorang untuk memilih agamanya masing-masing.”
Sebagai penutup, sangat menarik bahwa buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (Kelompok Kompas Gramedia), penerbit yang rasanya jarang sekali menerbitkan buku-buku bertemakan Islam.

Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan (721-815 H),
Ilmu kimia di kemudian hari berkembang sangat pesat dan dikenal banyak orang. Tapi, hanya sedikit yang tahu siapa sejatinya orang pertama yang menemukan ilmu eksakta tersebut. Adalah Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan (721-815 H), ilmuwan Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin ilmu kimia tadi.
Lahir di kota peradaban Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan nama Ibnu Hayyan. Sementara di Barat ia dikenal dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal sebagai 'syuhada' demi penyebaran ajaran Syi'ah. Jabir kecil menerima pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid Ibnu Yazid Ibnu Muawiyah, dan imam terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Jabir ini membuktikan, bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. "Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di bidang kimia," tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The Arabs. Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern.
Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di Damaskus. Pada masamasa inilah, ia banyak mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru di sekitar kimia. Berbekal pengalaman dan pengetahuannya itu, sempat beberapa kali ia mengadakan penelitian soal kimia. Namun, penyelidikan secara serius baru ia lakukan setelah umurnya menginjak dewasa.
Dalam penelitiannya itu, Jabir mendasari eksperimennya secara kuantitatif dan instrumen yang dibuatnya sendiri, menggunakan bahan berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani. Jabir mempunyai kebiasaan yang cukup konstruktif mengakhiri uraiannya pada setiap eksperimen. Antara lain dengan penjelasan : “Saya pertamakali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin dan saya mencari kesalahan yang mungkin masih terpendam “. 
Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya, Kuffah. Setelah 200 tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk pembuatan jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan sebatang emas yang cukup berat.
Teori Jabir
Pada perkembangan berikutnya, Jabir Ibnu Hayyan membuat instrumen pemotong, peleburan dan pengkristalan. Ia menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi.
Semua ini telah ia siapkan tekniknya, praktis hampir semua 'technique' kimia modern. Ia membedakan antara penyulingan langsung yang memakai bejana basah dan tak langsung yang memakai bejana kering. Dialah yang pertama mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses penyulingan.
Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia, yakni kalsinasi dan reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua dasar ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan, sublimasi, destilasi, penglarutan, dan penghabluran.
Setelah itu, papar Jabir, memodifikasi dan mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar logam, yang tetap tidak berubah sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap karyanya, Jabir melaluinya dengan terlebih dahulu melakukan riset dan eksperimen. Metode inilah yang mengantarkannya menjadi ilmuwan besar Islam yang mewarnai renaissance dunia Barat.
Namun demikian, Jabir tetap saja seorang yang tawadlu' dan berkepribadian mengagumkan. "Dalam mempelajari kimia dan ilmu fisika lainnya, Jabir memperkenalkan eksperimen objektif, suatu keinginan memperbaiki ketidakjelasan spekulasi Yunani. Akurat dalam pengamatan gejala, dan tekun mengumpulkan fakta. Berkat dirinya, bangsa Arab tidak mengalami kesulitan dalam menyusun hipotesa yang wajar," tulis Robert Briffault.
Menurut Briffault, kimia, proses pertama penguraian logam yang dilakukan oleh para metalurg dan ahli permata Mesir, mengkombinasikan logam dengan berbagai campuran dan mewarnainya, sehingga mirip dengan proses pembuatan emas. Proses demikian, yang tadinya sangat dirahasiakan, dan menjadi monopoli perguruan tinggi, dan oleh para pendeta disamarkan ke dalam formula mistik biasa, di tangan Jabir bin Hayyan menjadi terbuka dan disebarluaskan melalui penyelidikan, dan diorganisasikan dengan bersemangat.
Terobosan Jabir lainnya dalam bidang kimia adalah preparasi asam sendawa, hidroklorik, asam sitrat dan asam tartar. Penekanan Jabir di bidang eksperimen sistematis ini dikenal tak ada duanya di dunia. Inilah sebabnya, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai 'Bapak Ilmu Kimia Modern' oleh sejawatnya di seluruh dunia. Dalam tulisan Max Mayerhaff, bahkan disebutkan, jika ingin mencari akar pengembangan ilmu kimia di daratan Eropa, maka carilah langsung ke karyakarya Jabir Ibnu Hayyan.
Puaskah Jabir? Tidak! Ia terus mengembangkan keilmuannya sampai batas tak tertentu. Dalam hal teori keseimbangan misalnya, diakui para ilmuwan modern sebagai terobosan baru dalam prinsip dan praktik alkemi dari masa sebelumnya. Sangat spekulatif, di mana Jabir berusaha mengkaji keseimbangan kimiawi yang ada di dalam suatu interaksi zat-zat berdasarkan sistem numerologi (studi mengenai arti klenik dari sesuatu dan pengaruhnya atas hidup manusia) yang diterapkannya dalam kaitan dengan alfabet 28 huruf Arab untuk memperkirakan proporsi alamiah dari produk sebagai hasil dari reaktan yang bereaksi. Sistem ini niscaya memiliki arti esoterik, karena kemudian telah menjadi pendahulu penulisan jalannya reaksi kimia.
Jelas dengan ditemukannya proses pembuatan asam anorganik oleh Jabir telah memberikan arti penting dalam sejarah kimia. Di antaranya adalah hasil penyulingan tawas, amonia khlorida, potasium nitrat dan asam sulferik. Pelbagai jenis asam diproduksi pada kurun waktu eksperimen kimia yang merupakan bahan material berharga untuk beberapa proses industrial. Penguraian beberapa asam terdapat di dalam salah satu manuskripnya berjudul Sandaqal-Hikmah  (Rongga Dada Kearifan) .
Seluruh karya Jabir Ibnu Hayyan lebih dari 500 studi kimia, tetapi hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus studi kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul SummaPerfecdonis.
Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi kimia adalah: "Air raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk satu produk tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama sekali baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap. Yang benar adalah bahwa, keduanya mempertahankan karakteristik alaminya, dan segala yang terjadi adalah sebagian dari kedua bahan itu berinteraksi dan bercampur, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin membedakannya secara seksama. Jika dihendaki memisahkan bagianbagian terkecil dari dua kategori itu oleh instrumen khusus, maka akan tampak bahwa tiap elemen (unsur) mempertahankan karakteristik teoretisnya. Hasilnya adalah suatu kombinasi kimiawi antara unsur yang terdapat dalam keadaan keterkaitan permanen tanpa perubahan karakteristik dari masing-masing unsur."
Ide-ide eksperimen Jabir itu sekarang lebih dikenal/dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada bahan metal, nonmetal dan penguraian zat kimia. Dalam bidang ini, ia merumuskan tiga tipe berbeda dari zat kimia berdasarkan unsur-unsurnya:
1.     Air (spirits), yakni yang mempengaruhi penguapan pada proses pemanasan, seperti pada bahan camphor, arsenik dan amonium klorida, 
2.     Metal, seperti pada emas, perak, timah, tembaga, besi, dan 
3.     Bahan campuran, yang dapat dikonversi menjadi semacam bubuk.
Sampai abad pertengahan risalah-risalah Jabir di bidang ilmu kimia --termasuk kitabnya yang masyhur, yakni Kitab Al-Kimya dan Kitab Al Sab'een, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitab Al Kimya bahkan telah diterbitkan oleh ilmuwan Inggris, Robert Chester pada 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy. Sementara buku kedua Kitab Al Sab'een, diterjemahkan oleh Gerard Cremona.
Berikutnya di tahun 1678, ilmuwan Inggris lainnya, Richard Russel, mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Summa of Perfection. Berbeda dengan pengarang sebelumnya, Richard-lah yang pertama kali menyebut Jabir dengan sebutan Geber, dan memuji Jabir sebagai seorang pangeran Arab dan filsuf. Buku ini kemudian menjadi sangat populer di Eropa selama beberapa abad lamanya. Dan telah pula memberi pengaruh pada evolusi ilmu kimia modern.
Karya lainnya yang telah diterbitkan adalah; Kitab al Rahmah, Kitab al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury, dan Book of Balance (ketiga buku terakhir diterjemahkan oleh Berthelot). "Di dalamnya kita menemukan pandangan yang sangat mendalam mengenai metode riset kimia," tulis George Sarton. Dengan prestasinya itu, dunia ilmu pengetahuan modern pantas 'berterima kasih' padanya. []

Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi
Istilah algoritma, mungkin bukan sesuatu yang asing bagi kita. Ditinjau dari asal-usul katanya, kata ‘Algoritma’ mempunyai sejarah yang agak aneh. Orang hanya menemukan kata Algorism yang berarti proses menghitung dengan angka Arab. Seseorang dikatakan ‘Algorist’ jika menghitung menggunakan angka Arab. Para ahli bahasa berusaha menemukan asal kata ini namun hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut yang berasal dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi dibaca orang barat menjadi Algorism.
Definisi Algoritma
Definisi Algoritma adalah langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Contoh sederhana adalah penyusunan sebuah resep makanan, yang biasanya terdapat langkah-langkah cara memasak masakan tersebut. Tapi, algoritma umumnya digunakan untuk membuat diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer / informatika.
Penemu konsep Algoritma dan Aljabar
Penemunya adalah seorang ahli matematika dari uzbekistan yang bernama Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi. Di literatur barat, beliau lebih terkenal dengan sebutan Algorism. Panggilan inilah yang kemudian dipakai untuk menyebut konsep algoritma yang ditemukannya. Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm (Kheva), kota di selatan sungai Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi. Kedua orangtuanya kemudian pindah ke sebuah tempat di selatan kota Baghdad (Irak), ketika ia masih kecil. Khwarizm dikenal sebagai orang yang memperkenalkan konsep algoritma dalam matematika, konsep yang diambil dari nama belakangnya.
Al khwarizmi juga adalah penemu dari beberapa cabang ilmu matematika yang dikenal sebagai astronom dan geografer. Ia adalah salah satu ilmuwan matematika terbesar yang pernah hidup, dan tulisan-tulisannya sangat berpengaruh pada jamannya. Teori aljabar juga adalah penemuan dan buah pikiran Al khwarizmi. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal dengan judul Al Jabr Wa Al Muqabilah. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Pengaruhnya dalam perkembangan matematika, astronomi dan geografi tidak diragukan lagi dalam catatan sejarah. Pendekatan yang dipakainya menggunakan pendekatan sistematis dan logis. Dia memadukan pengetahuan dari Yunani dengan Hindu ditambah idenya sendiri dalam mengembangkan matematika. Khwarizm mengadopsi penggunaan angka nol, dalam ilmu aritmetik dan sistem desimal. Beberapa bukunya banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, seperti Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi, Algebra, Al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, hanya dikenal dari translasi berbahasa latin. Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.
Buku geografinya berjudul Kitab Surat-al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Buah pikir Khwarizmi di bidang geografi juga sangat mengagumkan. Dia tidak hanya merevisi pandangan Ptolemeus dalam geografi tapi malah memperbaiki beberapa bagiannya. Tujuh puluh orang geografer pernah bekerja dibawah kepemimpinan Al khwarizmi ketika membuat peta dunia pertama di tahun 830. Ia dikisahkan pernah pula menjalin kerjasama dengan Khalifah Mamun Al-Rashid ketika menjalankan proyek untuk mengetahui volume dan lingkar bumi. 

AL RAZI RUJUKAN ILMU BEDAH
Ketokohan ilmuwan Islam yang bernama lengkap Muhammad bin Zakaria ini memang sukar ditandingi dalam dunia pengobatan. Ia yang lebih populer dipanggil Al Razi ini adalah orang pertama membuat jahitan pada perut dengan benang dibuat dari serat. Dia juga orang pertama yang berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak.
Sejarah mencatat, Al Razi dilahirkan di Ray, Parsi (Iran) pada tahun 240 Hijriah/854 Masehi. Tak lain, dia adalah guru dari ilmuwan di bidang kedokteran yang sangat terkenal, Ibnu Sina.
Ketika masih kecil, perhatiannya sudah begitu besar dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran. Al Razi pun belajar dengan tekun setiap waktu dan kegigihannya tersebut kemudian diganjar prestasi mengagumkan pada setiap tingkatan sekolah yang dilaluinya.
Beranjak dewasa kemampuan Al Razi kian bertambah hingga dipercaya menjadi tenaga pengajar dan peneliti pada sejumlah lembaga. Penghargaan satu per satu diperoleh. Dia pernah mendapat gelar Jalinus Arab (Galen of the Arab) kerana ketokohannya sebagai pengajar di Rumah Sakit Baghdad, Irak.
Tak hanya berkiprah sebagai pengajar saja, Al Razi juga mengisi waktunya dengan mengadakan serangkaian penelitian di bidang pengobatan serta tak lupa, menulis buku. Sebanyak 10 buku ilmu perobatannya dia hasilkan dan kini sudah terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Buku karya Al Razi paling termasyhur berjudul Al-Hawi Fi Ilm Al-Tadawi yang terdiri dari 30 jilid dan dirangkum ke dalam 12 bagian.
Banyak hal baru yang dibahas dalam buku ini. Di antara yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit serta jenis penyakit; upaya menjaga kesehatan; punggung dan tengkuk (yang patah); obat-obatan dan makanan; pembuatan ramuan obat-obatan; industri kedokteran; farmasi; tubuh; pembedahan; dan pengawetan anggota tubuh. Selain itu, juga ada mengenai pengkelasan bahan galian serta peralatan dan obat yang digunakan lengkap dengan arahan terperinci.
Sebuah buku lain karyanya, Al-Mansuri, berisi tentang pembedahan seluruh tubuh manusia. Buku-buku karya Al-Razi itu lantas diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dan menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad ke-17.
Ilmunya yang amat mendalam berkaitan tatacara perobatan, terbukti bermanfaat dalam usaha pencarian ramuan obat dari bahan tumbuhan dan hewan serta cara yang tepat untuk digunakan dalam perawatan pasien. Salah satunya yang monumental, adalah bahan serat untuk menjahit luka terbuka.
Raksi kimia tak luput dari pengamatannya. Termasuk pula di antaranya ilmu dan tatacara kimia yang menjelaskan pemrosesan air raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam lain seperti emas, perak, tembaga, plumbum dan besi.
Sebagai seorang ilmuwan Islam dalam bidang perobatan, ketokohan al-Razi tidak terbatas dalam menimba ilmu dan mengarang buku semata-mata. Pada saat bersamaan, dia kerap mengemukakan pemikiran yang kritis dalam menyumbangkan rumusan keputusan oleh kerajaan.
Ketika, misalnya, penguasa kerajaan meminta Al Razi membangun sebuah rumah sakit di kota Baghdad, dia lantas menggunakan satu kaedah yang sangat baik untuk memilih lokasi rumah sakit tersebut. Al Razi meletakkan sepotong daging di tempat yang berlainan di Baghdad dan daging itu dibiarkan saja sehingga menjadi busuk.
Kemudian dia membangun rumah sakit di tempat yang dagingnya paling lambat busuk. Teorinya, tempat itu mempunyai udara bersih, sedikit pencemaran, dan lokasi sesuai untuk lokasi rumah sakit.
Sumbangan Al Razi dalam bidang filsafat juga tidak dapat dikesampingkan. Pada disiplin ilmu ini, hal yang menjadi pilihan ialah mengenai pencipta, jiwa manusia, hakikat, angkasa, dan masa.
Kini, sekitar 40 manuskrip karya Al Razi tersimpan di museum dan perpustakaan di beberapa negara, seperti di Iran, Perancis, dan Inggris. Sepanjang hidupnya, tokoh ilmuwan ini tercatat telah menghasilkan sebanyak 224 judul buku, 140 diantaranya adalah dalam bidang pengobatan. Al Razi meninggal dunia tahun 320 Hijrah/932 Masehi. ( yus/berbagai sumber )

AL-FARABI
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi (محمد فارابی ) dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi atau yang biasa ddi dunia barat sebagai Alpharabius, Al Farabi, Farabi, dan Abunasir lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. 
Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,

al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.

Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.

Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.

Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.

Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.

Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.

Ref :
1.     Wikipedia.org.
2.     hbis.wordpress.com 

1 comment: