"Saya
tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika
nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya
ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang
kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja sebenarnya saya sudah
cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sadiman, lelaki tua asal Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jateng, saat ditemui detikcom, Kamis (27/8/2015).
Wajahnya sudah terlihat sepuh, giginya sudah banyak yang tanggal, namun semangat menyala-nyala masih tercermin dari kilatan padangan matanya. Jangan tanya lagi soal kemampuan fisiknya, kaki lelaki 65 tahun itu layaknya tak menapak tanah ketika harus naik turun gunung meskipun sembari memikul beban. Napasnya tetap teratur, tak tersengal-sengal.
Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sadiman, lelaki tua asal Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jateng, saat ditemui detikcom, Kamis (27/8/2015).
Wajahnya sudah terlihat sepuh, giginya sudah banyak yang tanggal, namun semangat menyala-nyala masih tercermin dari kilatan padangan matanya. Jangan tanya lagi soal kemampuan fisiknya, kaki lelaki 65 tahun itu layaknya tak menapak tanah ketika harus naik turun gunung meskipun sembari memikul beban. Napasnya tetap teratur, tak tersengal-sengal.
Mbah Sadiman, demikian dia biasa disapa, memang hanya warga biasa di kampungnya. Bahkan rumah 9 x 6 meter berlantai tanah yang dia huni bersama istrinya seperti terselip di antara rumah-rumah warga lain yang cukup besar dan kokoh. Dia dan istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani. Yang paling menopang hidupnya adalah menjual rumput di areal hutan untuk dijual di pasar.
Yang istimewa dari Mbah Sadiman adalah dedikasinya kepada lingkungan. Sendirian lelaki tua ini melakukan penanaman pohon-pohon pengikat air di areal lahan hutan, lahan milik negara yang hasilnya pasti tak akan dinikmatinya. Bukan setahun dua tahun dia melakukan itu, namun sudah 19 tahun terakhir. Bukan pula hanya menanam, namun juga marawat dan membesarkannya. Termasuk menyulami atau menanaminya lagi jika tanaman sebelumnya mati. Dia melakukannya sendirian.
Luasan areal yang dia tanami tak kurang dari 100 hektar lahan hutan di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan, yang merupakan lereng Gunung Lawu sisi tenggara. Jaraknya sekitar 100 km dari Kota Solo. Lokasi tersebut merupakan kawasan perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Sadiman memaparkan ketika masih kanak-kanak dia merasakan sendiri sumber air yang cukup melimpah bersumber dari kedua bukit tersebut. Namun sumber air itu semakin berkurang ketika kayu-kayu hutan di kedua bukit dijarah warga untuk dijadikan bahan bangunan maupun dijual.
Puncak dari kerusakan hutan di kedua bukit itu, kata dia, terjadi pada tahun 1964 ketika terjadi kebakaran besar. Seluruh tanaman di hutan itu hangus terbakar. Kondisi hutan gundul itu dibiarkan selama bertahun-tahun sehingga sumber air semakin kritis. Banyak lahan pertanian yang dibiarkan karena kesulitan air, bahkan warga dan ternak mengalami kekurangan air bersih.
Pemerintah kemudian memutuskan untuk menghijaukan kembali Bukit Gendol dan Ampyangan dengan membuat hutan produktif. Kedua bukit itu dijadikan hutan pinus di bawah pengawasan Perhutani. Selama bertahun-tahun Sadiman bekerja sebagai penyadap getah pinus.
"Setiap hari saya naik gunung ini, saya amati dan saya pikirkan kondisinya. Ternyata pohon pinus tidak banyak membantu mengikat air alam. Jika penghujan sering banjir, jika kemarau tetap saja kami kekurangan air. Setelah itu sejak tahun 1996 saya putuskan untuk menanam pohon beringin di lokasi-lokasi yang tidak ada tanamannya. Saya minta izin penjaga hutan, ternyata diperbolehkan," ujarnya.
Ikuti terus kisah Mbah Sadiman pahlawan penghijauan. Karena dedikasinya menanam pohon beringin, wilayah itu kini tak pernah kekeringan.
(mbr/dra) news.detik.com
0 comments:
Post a Comment